Belajar Efektif: Antara Sains, Memori, dan Spiritualitas
Dari Frustrasi Ilmuwan Hingga Cahaya Bagi Pelajar
Profesor Henry L. Roediger III — akrab disapa Rodi — adalah seorang pakar psikologi kognitif yang menghabiskan lebih dari 40 tahun meneliti memori manusia. Lebih dari 300 publikasinya beredar di dunia akademik. Namun, ia diliputi rasa frustrasi: penemuan ilmiahnya tentang cara belajar yang efektif nyaris tidak sampai ke ruang kelas. Para guru dan murid masih terjebak dalam cara belajar lama, salah satunya SKS (sistem kebut semalam) yang hanya mengandalkan hafalan jangka pendek.
Berangkat dari kegelisahan itu, pada 2014 ia bersama Mark McDaniel dan Peter Brown menulis buku Make It Stick: The Science of Successful Learning. Buku ini menghadirkan temuan-temuan ilmiah sederhana namun revolusioner: ada cara belajar yang bisa membuat ilmu melekat sepuluh kali lebih efektif dan kuat.
Menariknya, jika kita renungkan, apa yang ditawarkan para ilmuwan ini sesungguhnya sejalan dengan prinsip Islam tentang belajar yang berkesinambungan (ṭūl zamān), bertahap (tadarruj), dan penuh kesungguhan (mujahadah). Bukankah wahyu pertama yang turun adalah “Iqra” (Bacalah), sebuah ajakan untuk belajar berulang, merenungkan, lalu mengikat ilmu dalam kehidupan?
1. Spaced Repetition – Belajar dengan Jeda, Bukan Sekaligus
Kebiasaan kebut semalam memang membuat kita cepat hafal, tapi cepat pula lupa. Ilmu hanya tersimpan di memori jangka pendek.
Sebaliknya, spaced repetition atau pengulangan dengan jeda, memungkinkan otak bekerja ulang dan menyimpan informasi ke dalam memori jangka panjang.
Misalnya, daripada belajar 3 jam nonstop sehari sebelum ujian, lebih efektif membagi waktu: 1 jam pada Senin, 1 jam Rabu, dan 1 jam Kamis.
Inilah makna tadarruj (bertahap) dalam Islam. Allah menurunkan Al-Qur’an selama 23 tahun, bukan sekaligus. Ada jeda, ada pengulangan, ada penguatan makna. Maka, belajar dengan jeda adalah sunnatullah cara otak dan hati kita menyerap hikmah.
2. Retrieval Practice – Melatih Ingatan, Bukan Hanya Membaca
Banyak orang merasa sudah belajar karena membaca catatan berkali-kali. Padahal itu hanya menciptakan ilusi penguasaan. Kita merasa akrab dengan materi, tetapi begitu ujian datang, ingatan kosong.
Solusinya: retrieval practice — yaitu berlatih mengingat ulang tanpa melihat buku. Setelah membaca satu bab, tutup buku dan tulis poin-poin penting yang masih diingat. Baru setelah itu bandingkan dengan teks asli.
Ini mengingatkan kita pada tradisi para huffaz (penghafal Qur’an). Mereka tidak hanya membaca mushaf, tetapi terus mengulang tanpa melihat teks, hingga ayat benar-benar hidup dalam ingatan. Mengikat ilmu adalah dengan menuliskannya, mengulangnya, dan mengajarkannya.
3. Interleaving (Belajar Gado-Gado) – Melatih Otak Adaptif
Metode klasik adalah blocking: mempelajari satu topik penuh baru pindah ke topik lain. Sekilas rapi, tapi sering membuat kita bingung saat menghadapi soal campuran.
Sebaliknya, interleaving atau gado-gado melatih otak untuk adaptif. Dalam satu sesi belajar, campur beberapa topik. Misalnya, dalam 1 jam belajar fikih, alokasikan 20 menit tentang bab Sholat, 20 menit tentang Bab Zakat, 20 menit Tentang Bab Haji.
Otak yang terbiasa menghadapi variasi akan lebih cekatan memilih strategi saat menghadapi masalah nyata. Inilah yang dalam Islam disebut tarbiyah ta’addud al-mahārah (pendidikan yang melatih banyak keterampilan). Sama seperti kehidupan nyata yang tidak pernah datang dengan satu masalah saja, melainkan berlapis-lapis.
4. Generation – Menebak Dulu, Belajar Kemudian
Inilah teknik yang paling unik: generation. Alih-alih langsung membaca materi, kita mulai dengan menebak jawaban dulu. Baru kemudian kita cek dengan buku.
Awalnya memang banyak salah, tetapi justru dari kesalahan itu otak bekerja lebih keras. Hasilnya, memori menjadi lebih kuat.
Belajar: Antara Otak, Hati, dan Amal
Empat teknik belajar ini — spaced repetition, retrieval practice, interleaving, generation — bukan sekadar strategi akademik. Ia adalah jalan untuk melatih otak bekerja keras, hati menjadi sabar, dan kemampuan semakin terasah.
Belajar dalam Islam bukan untuk nilai semata, tetapi untuk menumbuhkan kebijaksanaan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Maka, ketika kita mengatur jadwal belajar, mengulang materi dengan jeda, menulis ulang pelajaran, mencoba campuran topik, sesungguhnya kita sedang menapaki jalan ilmu dan berusaha melatih dan mengikut sertakan otak kita dalam belajar, bukan hanya belajar dengan mata kita.
Penutup: Belajar untuk Hidup, Bukan Hidup untuk Belajar
Prof. Roediger ingin ilmunya bermanfaat, tidak hanya di jurnal. Dan kita sebagai muslim, semestinya lebih peka: belajar bukan sekadar demi ujian dunia dan nilai dalam selembar kertas, tetapi demi mengangkat kebodohan dalam diri kita dan orang lain, demikian niat belajar yang dijelaskan Imam Ahmad.
Jika empat teknik belajar ini kita terapkan, bukan hanya prestasi akademik yang meningkat, tetapi juga keterampilan berpikir, daya tahan belajar, dan kerendahan hati untuk terus merasa bodoh serta melahirkan semangat untuk terus belajar.
Belajar efektif, belajar berulang, belajar dengan sabar. Itulah jalan agar ilmu menempel — bukan hanya di otak, tapi juga di hati.
.jpg)
Belum ada Komentar untuk "Belajar Efektif: Antara Sains, Memori, dan Spiritualitas"
Posting Komentar