Untuk Apa S2? Sebuah Perjalanan Mengasah Pola Pikir

 

Ada satu pertanyaan sederhana namun menyentil yang kerap muncul: “Untuk apa sih S2? Bukankah hidup sudah cukup dengan S1, kerja, dan membangun karier?” Pertanyaan ini menjadi semakin menarik saat disampaikan kepada seorang profesional yang sudah mapan, atau bahkan dokter yang telah memiliki klinik, bisnis, dan reputasi publik. Maka jawabannya perlu lebih dari sekadar, “Untuk gelar.”

S2 bukan semata urusan administratif akademik. Ia adalah ruang untuk menyempurnakan cara berpikir — bukan agar kita makin merasa pintar, tetapi agar kita makin menyadari bahwa dunia ini luas, kompleks, dan tidak bisa disederhanakan hanya dari sudut pandang kita sendiri.

Para ulama terdahulu mengajarkan bahwa ilmu yang hakiki bukan yang membuat kita tinggi diri, melainkan yang menundukkan kita pada realitas dan pada Allah Ta'ala yang Maha Tinggi dan Mengetahui. S2, bila dijalani dengan niat yang lurus adalah bagian dari proses itu.


Sekolah yang Tak Sekadar Sekolah

Manusia sejak kecil sudah ditempa dalam sistem pendidikan yang membentuk struktur berpikirnya. Di masa playgroup dan TK, kita diajak mengenal interaksi sosial. Di SD, diasah daya ingat, logika dasar, dan kemampuan bahasa. SMP memperkenalkan konsep benar–salah, moralitas, dan pencarian identitas. SMA menajamkan arah: ingin jadi siapa, tertarik pada bidang apa, memahami cara kerja dunia. Lalu kuliah (S1) mengajarkan kita bagaimana menghasilkan uang, masuk dunia kerja, menjadi bagian dari sistem.

Lalu, S2?

S2 bukan sekadar kelanjutan kurikulum, tapi titik tanya: sejauh mana cara berpikir kita sudah dewasa?

Apakah kita masih merasa dunia harus sesuai kemauan kita? Apakah kita sudah belajar memahami, menyelami, dan menghormati pola pikir orang lain? Apakah kita hanya pintar bicara, atau sudah belajar mendengar dan memproses secara bijak?

S2 dan Perjalanan Menundukkan Ego

Manusia, kata para filsuf dan ulama, lebih sering jatuh bukan karena ketidaktahuan, tapi karena kesombongan — merasa sudah cukup tahu. Di sinilah S2 bisa menjadi momentum: bukan untuk menumpuk titel, tapi untuk mengikis ego.

S2 mengajarkan bahwa kita tidak sedang berlomba-lomba menjadi paling pintar, melainkan belajar agar tetap rendah hati dalam berpikir. Kita bertemu dengan orang-orang yang jauh lebih muda tapi lebih jernih idenya, lebih sederhana lisannya, dan lebih matang pertimbangannya. Dari sanalah kita belajar kembali.

Tentang Mimpi, Ambisi, dan Realita

Salah satu jebakan terbesar dalam hidup adalah tidak bisa membedakan antara mimpi, cita-cita, dan ambisi. Mimpi bisa jadi liar, abstrak, dan tak terukur. Cita-cita lebih konkret: bisa direncanakan, dicapai, dan dievaluasi. Ambisi bila tidak terkendali dapat menjadi racun yang menggerogoti jiwa.

S2 bukan untuk melegitimasi ambisi, tapi mengendalikannya. Agar kita tahu batas diri, tahu bahwa tidak semua hal harus dicapai, dan tidak semua keinginan harus dibuktikan. Agar kita lebih damai menerima realitas, termasuk menerima kenyataan bahwa jalan hidup kita mungkin berbeda dari mimpi masa kecil yang dulu kita rajut.

Belajar Lagi, Bukan hanya karena Bodoh, Tapi Karena Mau Tumbuh

Dalam Al-Qur'an, Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ bukan perintah salat, puasa, atau jihad — tapi perintah membaca: Iqra’.

Membaca bukan sekadar aktivitas fisik, tapi sikap hidup: menyadari bahwa selalu ada yang bisa kita pelajari, bahwa ilmu adalah jalan untuk memperbaiki, bukan membanggakan diri.

S2, pada akhirnya, bukan sekadar ruang kuliah. Ia adalah ruang muhasabah intelektual. Untuk berpikir ulang. Untuk menyaring ribuan informasi dan menjadikannya hikmah. Untuk meng-upgrade cara berpikir, sebelum meng-upgrade karier dan profesi.

Kalau Tidak S2, Minimal Iqra’

Tidak semua orang harus S2. Tapi setiap orang kalau ingin hidupnya naik kelas harus membaca, belajar, dan berdialog dengan pikiran-pikiran besar. Banyak yang merasa cukup karena sudah bekerja, sudah mapan, sudah “jadi orang”. Padahal, hidup bukan hanya tentang pencapaian, tapi juga tentang kedalaman dan arah.

Jika belum bisa kuliah lagi, maka perbanyak membaca buku. Ikuti kajian ilmu. Tonton video diskusi berkualitas. Berguru kepada orang-orang yang lebih alim dan lebih bijak. Seperti sebuah ungkapan, “Ilmu itu sejatinya tidak membuatmu merasa segalanya tahu, tapi membuatmu tahu betapa banyak yang belum kamu pahami di dunia ini.”

Tujuan Akhirnya Bukan Gelar, Tapi Kejernihan

S2 bisa jadi kendaraan. Tapi tujuannya bukan ijazah, apalagi validasi sosial. Tujuannya adalah kejernihan berpikir, kerendahan hati, dan keluasan pandang. Tujuannya adalah menjadi manusia pembelajar, sampai akhir hayat.

Karena ketidaktahuan bukan masalah selama masih ada kemauan untuk mencari, menggali dan belajar!
Yang bahaya adalah ketika merasa pintar, lalu berhenti belajar!
Dan itu bukan soal S2. Itu soal sikap. Sikapmu terhadap ilmu!

Belum ada Komentar untuk "Untuk Apa S2? Sebuah Perjalanan Mengasah Pola Pikir"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel